PDIP berubah sikap dari yang sebelumnya meminta pemerintah menunda penulisan ulang sejarah nasional menjadi mendesak penghentian proyek itu.
KEMENTERIAN Kebudayaan sedang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengatakan pemerintah menargetkan proyek ini rampung pada Agustus nanti. Namun sejumlah kalangan menolaknya dan mendesak pemerintah menghentikan proyek tersebut.
Salah satunya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Maria Yohana Esti Wijayati mengatakan partainya mendesak pemerintah menghentikan penulisan ulang sejarah tersebut.
“Kami meminta dengan tegas: setop penulisan (ulang sejarah) ini karena sudah menimbulkan polemik dan melukai banyak orang,” kata dia di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin, 30 Juni 2025.
Wakil Ketua Komisi X DPR ini menuturkan sikap PDIP berubah dari yang sebelumnya hanya meminta pemerintah menunda proyek penulisan sejarah resmi. “Dengan banyak polemik yang muncul, target kami tidak hanya tunda, target kami adalah setop,” ujarnya.
Legislator asal Daerah Istimewa Yogyakarta ini menyebutkan Fraksi PDIP akan mendorong pemerintah menghentikan proyek itu melalui DPR. Dia menuturkan Komisi X, yang membidangi pendidikan, olahraga, sains, dan teknologi, akan segera memanggil Fadli Zon untuk membahas berbagai rencana kerja dan evaluasi Kementerian Kebudayaan, termasuk soal penulisan ulang sejarah Indonesia.
Menurut Esti, pemerintah tidak perlu berkeras terus menuliskan sejarah versi Kementerian Kebudayaan. Sebab, sudah banyak gejolak yang timbul bahkan sebelum proyek tersebut selesai.
Esti juga merasa khawatir penulisan ulang sejarah yang dihasilkan menjadi tidak akurat. “Mungkin tidak akan sesuai dengan fakta sejarah,” tuturnya.
Kekhawatiran itu muncul dari berbagai faktor. Salah satunya, kata Esti, terlihat dari mundurnya sejumlah sejarawan dari tim penulisan karena tidak memiliki visi yang sama dengan tim bentukan pemerintah. Selain itu, kekhawatiran soal penyusunan sejarah yang tidak akurat juga telah disampaikan berbagai pihak dalam rapat dengar pendapat di Komisi X DPR.
Bambang Pacul: PDIP Akan Tulis Ulang Sejarah Sendiri
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto mengatakan partainya akan membuat naskah sejarah tandingan dari yang sedang dibuat oleh Kementerian Kebudayaan. Dia menyampaikan hal itu berkaitan dengan lekatnya aspek subjektivitas terhadap proses penulisan ulang sejarah.
“Siapa pun yang akan menulis pasti akan ada kontranya. Terhadap inisiatif Menteri Kebudayaan Fadli Zon, maka sikap PDIP juga akan menulis ulang juga sejarah versi kami,” kata politikus yang akrab disapa Bambang Pacul itu saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 16 Juni 2025.
Wakil Ketua MPR itu meyakini faktor subjektivitas akan terus memicu perdebatan dalam penulisan ulang sejarah. Alasannya, dari sejumlah fakta sejarah yang ada, sebagian di antaranya bisa bertentangan dengan kepentingan penulis. “Karena (misal) dari 10 fakta, yang tidak menguntungkan ada 2 fakta. Maka 2 fakta itu bisa dibunuh,” kata dia.
Dia pun mengakui hal itu juga berlaku bagi dirinya. Dia mencontohkan, sebagai penggemar Presiden Pertama RI Sukarno, dia hanya akan menulis hal-hal teladan dari Soekarno. Bambang berujar tidak akan mencantumkan kesalahan Sukarno yang bisa membuat Bapak Proklamator itu dikritik. “Sama saja saya juga punya subjektivitas,” tuturnya.
Alasan Sejumlah Pihak Tolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Selain PDIP, sejumlah pihak juga menolak penulisan ulang sejarah yang sedang dikerjakan Kementerian Kebudayaan. Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi, misalnya, mendesak Menteri Kebudayaan Fadli Zon membatalkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.
Menurut dia, penulisan ulang sejarah semestinya dilakukan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, bukan oleh Kementerian Kebudayaan. Apalagi, dia menilai proyek ini manipulatif karena berupaya membengkokkan narasi di masa lalu.
“Pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk merekayasa sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa,” kata dia dalam keterangan tertulis pada Senin, 16 Juni 2025.
Hendardi mengatakan penulisan ulang sejarah memerlukan dialog yang panjang, matang, mendalam, dan inklusif terhadap fakta yang mesti diakomodasi dalam buku pembelajaran.
Agar lebih baik, kata dia, proyek ini juga harus diiringi dengan iktikad baik pemerintah dalam mengungkap kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, alih-alih menulis ulang sejarah secara instan dan represif sesuai selera rezim.
Tanpa diiringi dengan penuntasan kasus HAM, Hendardi menyebutkan penulisan ulang sejarah amat potensial digunakan kekuasaan untuk merekayasa peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Tindakan ini, kata dia, juga sempat diupayakan oleh rezim otoriter Orde Baru untuk mendelegitimasi fakta pada tragedi pembantaian 1965. “Apalagi, narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi, dan muslihat,” ujar Hendardi.
Manipulatif yang dimaksud salah satunya adalah perihal penyangkalan kasus pemerkosaan massal di kerusuhan Mei 1998. Fadli menilai kasus tersebut hanya sekadar rumor lantaran tak memiliki cukup bukti.
Padahal, kata Hendardi, mantan Presiden B.J. Habibie telah mengeluarkan pernyataan resmi berkaitan dengan kasus pemerkosaan massal di 1998. Ditambah dengan pelbagai laporan yang disampaikan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman; serta investigasi dan temuan Komnas HAM, Komnas Perempuan, berbagai studi ilmiah yang dilakukan para intelektual, serta laporan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat sipil telah membuat jelas adanya kasus pemerkosaan massal yang disangkal politikus Partai Gerindra itu.
Adapun Aliansi Organ 98 menolak penulisan ulang sejarah nasional dengan alasan proyek itu sarat akan masalah dan kepentingan politik. Mantan aktivis 1998, Pande K. Trimayuni, mengatakan semestinya penulisan sejarah diinisiasi oleh para akademisi dan sejarawan, baik karena adanya penemuan baru maupun karena pertimbangan lain.
Menurut dia, penulisan yang diinisiasi oleh negara semakin menunjukkan adanya kepentingan tertentu. “Terlihat dari banyak yang tidak dimunculkan, seperti melihat persoalan yang terjadi di Orde Baru sebagai hal positif saja,” kata Pande dalam konferensi pers di Graha Pena 98, Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Pande menuturkan upaya memutihkan dosa masa lalu itu terlihat dari luputnya berbagai macam peristiwa penting yang melibatkan para pemimpin kala itu, dan sebagian masih berkuasa hingga saat ini. Beberapa peristiwa yang tidak dicantumkan itu di antaranya tentang gerakan perempuan, peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menjelang reformasi, dan terlalu banyak menggunakan kata pembangunan yang memberikan kesan menghilangkan aksi-aksi keji saat itu.
Dia menjelaskan dampak dari pengaburan fakta itu tidak hanya berhenti dari dibukukannya sejarah. Lebih jauh, dia khawatir negara akan menggunakannya sebagai alat propaganda seperti memasukkannya ke dalam kurikulum, referensi film-film, hingga menjadi argumen pembenaran untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto.
“Soalnya banyak ketokohan yang hilang, banyak pelaku yang tidak akan disebut, dan selamanya akan begitu,” tuturnya.