Dari Dago menjadi Ir. H. Djuanda, simak asal-usul perubahan nama salah satu jalan ikonik di Kota Bandung.
Jalan Dago terkenal sebagai sentra kuliner dan fashion Kota Bandung. Kawasan ini juga kerap menjadi latar konten “Bandung After Rain” yang menampilkan suasana sendu dan romantis, lengkap dengan musik melankolis dan kabut yang menyelimuti.
Terkenal dengan nama Dago, kawasan ini sebenarnya memiliki nama resmi Jalan Ir. H. Djuanda sejak 1970-an. Lalu kenapa disebut Dago?
Tempat Menunggu
Nama “Dago” berasal dari kata dalam Bahasa Sunda, yaitu “dagoan” yang berarti menunggu. Dahulu, kawasan ini hanyalah hutan belantara yang sepi dan gelap. Pada masa kolonial Belanda, jalanan belum seramai dan seterang sekarang. Warga harus saling menunggu satu sama lain agar bisa melintasi jalur tersebut bersama-sama demi keamanan. Kebiasaan ini melahirkan penamaan “Dago” yang hingga kini masih digunakan.
Seiring berlajannya waktu, Jalan Dago menjelma menjadi kawasan elite. Udara sejuk khas Bandung Utara dan pemandangan asri membuat para elite Belanda memilihnya sebagai tempat peristirahatan. Salah satu bangunan pertama yang berdiri di kawasan ini adalah Dago Thee Huis atau Dago Tea House pada 1915. Setelahnya, berdiri pula perguruan penting Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) dan Lyceum Dago (sekarang SMAN 1 Bandung) yang menonjolkan Dago sebagai pusat pendidikan dan budaya.
Jadi Jalan Ir. H. Djuanda
Nama resmi Dago diubah pada 1970 menjadi Jalan Ir. H. Djuanda, sebagai penghormatan kepada Djuanda Kartawidjaja, perdana menteri terakhir Indonesia. Ia dikenal karena mencetuskan Deklarasi Djuanda pada 1957 yang menyatukan seluruh perairan Nusantara sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia. Gagasannya memperkuat kedaulatan negara Indonesia dan diakui dalam hukum laut internasional.
Penghormatan terhadap Djuanda juga diwujudkan melalui penamaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura) di ujung utara jalan ini. Tahura menjadi destinasi favorit masyarakat karena menawarkan udara segar, jalur trekking, dan situs bersejarah seperti Gua Jepang dan Gua Belanda. Kawasan ini ramai dikunjungi terutama saat akhir pekan, baik untuk olahraga ringan maupun sekadar melepas penat dari hiruk pikuk kota.
Kini, nama Jalan Ir. H. Djuanda mungkin lebih sering terlihat di papan jalan atau peta digital. Namun, nama “Dago” tetap bertahan dalam keseharian warga Bandung. Nama itu bukan sekadar berfungsi sebagai penanda lokasi, melainkan simbol sejarah yang terus hidup. Kini maupun nanti, Dago selalu menjadi tempat yang menyimpan jejak masa lalu, dari hutan belantara hingga pusat peradaban di Kota Bandung.