Selain menjelaskan fakta, penulisan ulang sejarah Indonesia perlu dikawal untuk menjaga fungsi korektif terhadap ketimpangan di masa lalu.
Jakarta – Sejumlah akademisi berharap proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia dikawal agar tidak menjadi alat legitimasi kekuasaan semata. Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Ella Syafputri Prihatini mengatakan sejarah tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan kekuasaan dan representasi politik.
“Poin yang paling penting dan tidak bisa kita lupakan adalah keterkaitan antara kekuasaan, representasi politik, dan penulisan sejarah nasional,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) secara daring pada Selasa, 29 Juli 2025.
Mengenai legitimasi kekuasaan, Ella khawatir ada kelompok dominan yang menulis ulang sejarah sesuai kepentingan tertentu. Pihak yang berkuasa, kata dia, cenderung berkeinginan menulis ulang sejarah. Bila terjadi, penulisan ulang sejarah berisiko menghilangkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari narasi resmi negara. Kelompok yang dianggap terpinggirkan bakal absen dalam historiografi yang diklaim resmi.
“Politik representasi itu artinya siapa yang mendapat suara akan mempengaruhi narasi sejarah yang akan dituliskan,” tutur Ella yang merupakan asisten profesor Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Dia juga menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah—kini digarap oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan—perlu perlu dikawal untuk menjaga fungsi korektif terhadap ketimpangan masa lalu. Selama ini sejarah resmi cenderung mengabaikan kekerasan struktural, atau dituliskan secara eufemistis alias memakai versi halus. Skala kejadian dalam sejarah juga umumnya direduksi dari yang sebenarnya.
Menurut Ella, sejarah seharusnya tidak hanya membenarkan apa yang sudah terjadi, namun memberi ruang juga untuk refleksi dan perbaikan untuk hal yang selama ini disembunyikan. Dia menekankan pentingnya keadilan sosial dalam penulisan sejarah demi memperkuat demokrasi yang inklusif dan mencegah pengulangan kekerasan.
Dalam konteks digital, Ella juga menyoroti pentingnya advokasi publik. “No viral, no justice. Hal-hal seperti itu mengingatkan betapa kuatnya daya tawar kita di dunia digital,” katanya. Ia mendorong keterlibatan akademisi, organisasi seperti ALMI, AIPI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta koalisi masyarakat sipil untuk mendorong revisi kurikulum sejarah yang lebih inklusif.
Pesan lain Ella adalah agar sejarah versi negara tidak menjadi satu-satunya narasi tunggal yang diajarkan. Sebagai pelengkap, dia menyarankan pemerintah menyediakan uji publik yang memadai serta deklasifikasi dokumen negara, khususnya yang menyangkut pelanggaran HAM.
Budayawan yang juga anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KK AIPI) Melani Budianta turut menyoroti aspek waktu dan partisipasi publik dalam proses ini. Meski penulisan ulang sejarah bangsa bukan hal tabu, dia mempertanyakan alasan proyek ini digeber dalam waktu singkat dan terkesan kejar tayang. Padahal, memori kolektif yang dituangkan dalam narasi sejarah harus mempertimbangkan konteks sosial-kultural, bukan hanya politik.
“Dibutuhkan waktu yang cukup serta seleksi yang cermat atas peristiwa masa lalu, yang akan direpresentasikan di masa kini dan masa depan,” tutur Melani.
Peter Carey, sejarawan Indonesia yang juga Fellow Emeritus University of Oxford, mengingatkan pentingnya memahami sejarah lokal sebagai fondasi penulisan sejarah nasional. Menurut dia, sejarah lokal di era kolonial merupakan titik awal narasi besar bangsa. “Kita tidak pernah bisa menulis sejarah nasional bila tidak mengerti sejarah lokal,” ujarnya.