Home / Uncategorized / Sejarah Penambangan Nikel di Indonesia sejak Era Kolonial Belanda

Sejarah Penambangan Nikel di Indonesia sejak Era Kolonial Belanda

Asal-muasal penambangan nikel di Indonesia yang dimulai dari penelitian bijih besi di Sulawesi pada 1901.

Jakarta – Aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, tengah menjadi perhatian publik. Perbincangan berawal dari protes yang dilayangkan Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.

Lantas, seperti apa asal-muasal penambangan nikel di Indonesia?

Sejarah Penambangan Nikel di Indonesia

Melansir digilib.uin-suka.ac.id, sejarah penambangan nikel di Tanah Air dimulai pada 1901, ketika ahli geologi asal Belanda, Kruyt dan EC Abendanon meneliti bijih besi di Sulawesi. Pada 1930-an, perusahaan tambang batu bara swasta Belanda, Oost Borneo Maatschappij (OBM) melakukan eksplorasi lebih lanjut dan berhasil mengirimkan 150.000 ton bijih nikel ke Jepang pada 1938.

Pada 1968, Kontrak Karya (KK) PT International Nickel Indonesia (INCO) diterbitkan untuk pertama kali, yang selanjutnya bertransformasi menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Selain itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Aneka Tambang atau PT Antam Tbk mengelola tambang nikel di Sulawesi dan Halmahera, Maluku Utara, hingga menghasilkan feronikel sejak 1997.

Pada 2013, terjadi perkembangan industri hidrometalurgi dengan melibatkan negara-negara, seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Kanada, Prancis, Brasil, dan Indonesia, di mana dilakukan pengelolaan nikel untuk memenuhi kebutuhan baterai mobil listrik di masa depan. Seiring dengan otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) menerbitkan KK pertambangan nikel di berbagai daerah di Indonesia.

Cadangan Nikel Indonesia Terbesar di Dunia

Berdasarkan data Survei Geologi Amerika Serikat atau United State Geological Survey (USGS), estimasi produksi tambang nikel global menurun, dari 3,75 juta ton pada 2023 menjadi sekitar 3,7 juta ton pada 2024. Namun, produksi nikel di Indonesia tercatat meningkat sekitar 8 persen, dari semula 2,03 juta ton (2023) menjadi 2,2 juta ton (2024).

Penurunan produksi nikel disumbang oleh Australia dan Filipina, yang masing-masing menurun sekitar 26 persen dan 20 persen, setelah beberapa perusahaan mengurangi dan menghentikan produksi. Begitu pula di Kaledonia Baru, produksi nikel menurun sekitar 52 persen, karena kerusuhan yang meluas.

Secara global, sumber daya nikel diperkirakan mengandung lebih dari 350 juta ton nikel, dengan 54 persen dalam laterit dan 35 persen dalam endapan sulfida magmatik. Indonesia menjadi negara dengan kepemilikan cadangan nikel paling banyak di dunia, yaitu diperkirakan mencapai 55 juta ton.

Di urutan kedua, cadangan nikel terbesar berada di Australia, yaitu 24 juta ton. Kemudian, disusul oleh Brasil sebesar 16 juta ton, Rusia sebesar 8,3 juta ton, Kaledonia Baru sebesar 7,1 juta ton, Filipina sebesar 4,8 juta ton, Cina sebesar 4,4 juta ton, Kanada sebesar 2,2 juta ton, dan Amerika Serikat sebesar 310 ribu ton nikel.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *