JEJAK SEJARAH – Orang-orang Romawi kuno ternyata sudah punya budaya street food alias jajan makanan pinggir jalan. Salah satu jajanan yang dijual saat itu: burung poksai goreng.
Itulah kesimpulan para ilmuwan dan arkeolog setelah menemukan tulang-tulang burung pada penggalian lubang pembuangan di dekat toko makanan, atau taberna, di dalam distrik komersial Pollentia di Mallorca, Spanyol, demikian dilansir dari Archaeology News, Rabu (11/6/2025), dikutip Kamis (12/6/2025).
Lubang tersebut, yang berasal dari periode antara 10 SM dan 30 M, dihubungkan ke bangunan tersebut melalui sistem drainase bawah tanah. Di dalam lubang tersebut, para arkeolog menemukan sejumlah besar sisa-sisa hewan, termasuk babi, ikan, kerang, dan-yang terpenting-total sedikitnya 165 tulang burung poksai kicau (Turdus philomelos), sisa-sisa burung yang paling banyak ditemukan
Yang membuat penemuan ini begitu penting adalah pola tulang-tulang burung. Tulang-tulang burung yang ditemukan itu mencakup banyak tulang dada dan tengkorak. Nyaris tidak ada tulang anggota badan yang lebih berdaging seperti tulang paha atau tulang lengan atas. Itu menunjukkan bahwa burung-burung itu diolah sedemikian rupa sehingga bagian-bagian yang paling diinginkan tidak terganggu dan dapat dimakan, kemungkinan dengan membuang tulang dada dan meratakan daging burung, metode yang masih digunakan dalam masakan Mediterania hingga saat ini.
Burung poksai kicau diketahui bermigrasi saat musim dingin ke Mallorca. Musim migrasi burung poksai kicau ini rupanya dimanfaatkan pedagang kaki lima (PKL) Romawi kuno untuk menyediakan keragaman pada sajian mereka.
Sementara ayam dan kelinci peliharaan juga ditemukan dalam jumlah besar di lokasi tersebut, prevalensi tulang burung poksai-dan konteks komersialnya yang jelas-yang menarik perhatian para peneliti. Toko makanan, yang dilengkapi dengan amphorae yang tertanam di meja dapur yang mirip dengan yang ditemukan di thermopolia Pompeii (bar makanan cepat saji kuno), sangat menunjukkan bahwa burung-burung ini dijual untuk dikonsumsi langsung.
Temuan ini bukanlah hal yang unik. Ada bukti seperti ini di Pompeii dan bahkan di vila-vila Romawi pedesaan di Inggris. Itu mendukung gagasan bahwa kios makanan dan restoran dadakan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari Romawi.
Lokasi dan sifat sisa-sisa burung poksai kicau itu bertentangan dengan asumsi tradisional. Catatan sejarah, seperti catatan Pliny the Elder (filsuf, penulis dan pengamat alam Romawi kuno), menggambarkan burung poksai sebagai makanan mewah yang mahal untuk kaum elite yang dinikmati oleh orang kaya di jamuan makan yang mahal. Namun dalam hal ini, konteks arkeologi menunjukkan bahwa burung-burung itu ditawarkan di toko-toko makanan di pinggir jalan dan dimakan oleh penduduk kota biasa.
Para arkeolog menemukan perbedaan pola konsumsi burung poksai kicau pada kaum elite dan rakyat jelata. Bila rakyat jelata mengonsumsinya saat burung poksai itu bermigrasi pada musim dingin di Mallorca, orang elite bisa mengonsumsi burung poksai kapan saja. Hal ini karena orang elite Romawi kuno mengembangbiakkan burung ini dengan memberi makan buah ara. Burung poksai kuno dalam kalangan orang elite Romawi kuno diolah dengan rumit, tak cuma digoreng.
Penemuan di Pollentia menambah kedalaman lanskap kuliner Romawi, dan menunjukkan bahwa perbedaan pola makan berdasarkan kelas tidak seketat yang diasumsikan sebelumnya. Para peneliti menunjukkan bahwa perbedaan antara orang kaya dan orang miskin dalam hal konsumsi burung poksai mungkin lebih pada waktu dan persiapan daripada sekadar akses: orang kaya mengonsumsinya di luar musim dan dalam hidangan olahan, sedangkan orang biasa mengonsumsinya dalam keadaan digoreng dan segar di musim dingin.
Penelitian ini tidak hanya menghilangkan deskripsi tradisional tentang budaya makanan Romawi, tetapi juga menyoroti ekonomi makanan kaki lima yang berkembang pesat di tempat-tempat seperti Pollentia.
Riset ini telah diterbitkan dalam International Journal of Osteoarchaeology yang tayang 26 Mei 2025 dengan judul “Urban Consumption of Thrushes in the Early Roman City of Pollentia, Mallorca (Spain)”.