Home / Uncategorized / Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia, Asosiasi Antropologi: Kami Sangat Khawatir

Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia, Asosiasi Antropologi: Kami Sangat Khawatir

Berikut ini 5 kritik Asosiasi Antropologi Indonesia terhadap proses penulisan buku sejarah nasional Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan

Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) menyampaikan sederet kritik terhadap proses penulisan ulang sejarah nasional Indonesia oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan saat ini. Kritikan itu pula yang mendasari asosiasi memutuskan tak memenuhi undangan untuk hadir dalam diskusi uji publik draf revisi sejarah nasional Indonesia pada Jumat pekan lalu.

Salah satu keberatan AAI merujuk kepada format diskusi untuk uji publik itu yang dinilai lebih tepat sebagai kegiatan sosialisasi. Keputusan absen lalu dibuat setelah dilakukan polling di antara para anggota asosiasi. “Sebagian besar atau lebih banyak yang mengatakan tidak perlu datang karena khawatir,” ujar Ketua Umum AAI Suraya Afiff mengungkapkan dalam diskusi publik yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia secara daring pada Selasa, 29 Juli 2025.

Berikut 5 kritik AAI seperti dituturkan Suraya yang juga dosen antropologi di Universitas Indonesia tersebut terhadap proses penulisan Buku Sejarah Nasional Indonesia,

  1. Suraya menyinggung tidak adanya akses terhadap draf buku, serta ketidakjelasan proses yang akan ditempuh jika ada ketidaksepakatan dengan isi dari tulisan tersebut. “Saat kami diskusi, ternyata tidak ada bukunya, tidak ada draf-nya, tidak dikirim, waktu untuk diskusi juga terbatas,” katanya. “Baru setelah itu kami dapat yang namanya summary, tapi hanya summary, bagaimana satu buku mau dibahas hanya summary-nya.”
  2. AAI juga menyoroti potensi penulisan ulang sejarah yang bisa menghapus atau mengubah fakta. “Persoalan ketika proyek penulisan buku sejarah ini dibubuhi dengan menulis ulang sejarah, dapat berarti adanya bagian sejarah yang berpotensi akan dihapus, ditambahkan, diubah, diganti dan atau diabaikan.”
  3. Suraya juga menyatakan—merujuk pada surat resminya—khawatir buku SNI baru akan menjadi narasi tunggal yang digunakan negara untuk membatasi pandangan lain. “Kami sangat khawatir jika buku sejarah yang akan dihasilkan nanti diposisikan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melarang, memberangus, bahkan bukan tidak mungkin, juga mengkriminalisasi peneliti dan penulis sejarah yang tulisannya dianggap bertentangan.”
  4. AAI juga mempertanyakan metode penulisan yang dilakukan secara tertutup dan dilakukan dalam waktu singkat, sekitar 8 bulan. “Tanpa ada proses peer review yang memadai, penulisan yang terburu-buru ini akan berpeluang menghasilkan banyak kesalahan, dan ketidakakuratan data,” kata Antropolog itu, seraya menambahkan bahwa hal tersebut bisa menurunkan kredibilitas ilmuwan Indonesia.
  5. Lebih jauh, AAI menilai penulisan sejarah tidak seharusnya menjadi domain eksklusif akademisi di kampus. Suraya menegaskan bahwa masyarakat pun punya data sejarah valid, seperti catatan harian, wawancara, hingga cerita turun-temurun. “Ini aneh juga ya, penulisan sejarah hanya boleh dituliskan oleh expert yang ada di Departemen Sejarah. Jadi menegasikan sebenarnya cerita-cerita sejarah yang berpangkal juga dari oral history.”

Dalam surat resminya, AAI menyatakan sikap tegas, yakni menolak jika buku baru ini dianggap sebagai versi sejarah paling benar dan digunakan untuk membungkam pandangan lain. Mereka menolak kewajiban penggunaan buku ini sebagai satu-satunya acuan sah dalam pembelajaran sejarah, serta menuntut kebebasan bagi ilmuwan untuk mengkritisi dan menyusun versi sejarah alternatif tanpa diskriminasi atau pembatasan.

Asosiasi itu menekankan pentingnya proses terbuka dan berkelanjutan dalam penulisan sejarah. “Jadi kembali lagi ya, kami tidak mengatakan anti di dalam penulisan sejarah itu, tapi kami mempersoalkan siapa sebenarnya yang menjadi sumber dari penulisan itu,” ujarnya.

AAI menyerukan agar diskusi publik yang bermakna tetap digelar setelah draf buku tersedia, dengan jaminan ruang koreksi dan masukan dari publik. Sebab, tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat, penulisan dinilai bakal bias kepentingan elit penguasa saat ini. Menurut Suraya, pendekatan antropologis dapat memastikan bahwa trauma kolektif dan ingatan korban tidak dihapus dari narasi sejarah nasional.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *