Begini sejarah hubungan dagang lada antara bangsa Aceh dengan kota Salem, Massachusetts di Amerika yang tersimpan dalam logo resmi kota tersebut.
HUBUNGAN perdagangan antara Kota Salem, Massachusetts, Amerika Serikat dan Kota Aceh, Indonesia, adalah kisah penting yang tercatat bukan hanya dalam dokumen sejarah, tetapi juga di logo resmi Kota Salem.
Berdasarkan artikel ilmiah Jejak Nusantara karya Tyson Tirta, pada abad ke-18 dan ke-19, rempah-rempah dari Nusantara telah menyebar luas ke Eropa dan Amerika, termasuk kota Salem. Pedagang lada dari Aceh, Sumatera, secara aktif menjalin hubungan dagang rempah dengan pelabuhan Salem di Massachusetts.
Perubahan politik dan persaingan kekuatan imperial mempengaruhi jalur perdagangan rempah dari Nusantara ke Barat. Para pelaut dan pemilik kapal dagang Amerika menyadari potensi keuntungan besar sehingga ikut mengembangkan perdagangan lada Sumatera ke Amerika dan Eropa.
Lada sudah lama dianggap berharga oleh orang Eropa. Sejak Romawi kuno, lada digunakan sebagai obat. Dalam bahasa Sanskerta, lada hitam disebut “maricha” yang berarti penghilang racun. Pada Abad Pertengahan, lada menjadi bumbu mahal yang hanya milik kalangan kaya Eropa. Namun, perdagangan lada sebenarnya telah lama dikuasai bangsa Gujarat, Bengal, Tamil, Arab, Asia Tenggara, dan Cina. Portugis bersama Vasco da Gama menjadi orang Eropa pertama yang menjalin hubungan langsung dengan India pada akhir abad ke-15.
Jejak awal perdagangan lada Sumatera ke Salem tidak tercatat jelas, tetapi kapten Jonathan Carnes dari Amerika pada 1797 berhasil membawa lada Sumatera langsung ke Salem tanpa perantara Belanda dengan untung besar. Ini menarik pengusaha Amerika lain untuk ikut berdagang. Pelabuhan utama adalah Qualah Batoo (sekarang Kuala Batee) di Aceh. Antara 1799 dan 1846, sekitar 179 kapal berlayar antara Salem dan Sumatera. Sebagian besar lada dari Salem juga dikirim ke pasar Eropa.
Selain itu, sumber lain menyebutkan pada 1684, warga asli Boston bernama Elihu Yale yang bekerja untuk sebuah perusahaan di Madras mengirim dua karyawannya, Ralph Ord dan William Cawley, ke Aceh untuk mengurus perdagangan lada. Mereka meminta perlindungan dari Kerajaan Aceh agar perdagangan lada tidak terganggu oleh pasukan Belanda. Lada terakhir dari Sumatera tiba di Salem, Massachusetts, pada 6 November 1846, diangkut oleh kapal “Lucilla”. Antara tahun 1797 dan 1846, Salem meraih keuntungan besar dari perdagangan lada Sumatera, terutama dari penjualan dan pajak.
Sebagian besar lada ekspor Sumatera tersebut kemudian dikirim ke pelabuhan-pelabuhan Eropa seperti Stockholm, Gothenburg, Hamburg, Kopenhagen, dan Antwerpen. Di Amerika, lada ini diperjualbelikan di Philadelphia, Boston, dan Baltimore untuk redistribusi. Kapal pengangkut lada terbesar yang tercatat adalah “Eliza” dengan muatan 512 ton lada pada tahun 1806. Saat masa keemasan perdagangan lada, dewan kota Salem membuat segel logo kota yang mengandung unsur-unsur yang mencerminkan suasana Hindia Timur, kawasan penghasil lada.
Pada pergantian abad ke-19, Sumatera mengirim ratusan ton lada ke Eropa dan Tiongkok, melibatkan hampir seluruh wilayah pulau itu. Lada menjadi bahan penting, baik sebagai obat maupun bumbu masak. Hal ini membuka babak baru dalam perdagangan. Pada masa itu, tercatat 967 kapal Amerika berlayar ke Sumatera.
Puncak kejayaan ekonomi terjadi pada 1846, ketika produksi yang berlebihan malah menurunkan harga lada. Sejak 1829, harga lada di pasar internasional turun, sehingga kapal-kapal Amerika yang datang ke pelabuhan Aceh semakin sedikit. Pada 1861, keuntungan dan aktivitas perdagangan ini benar-benar berakhir akibat perang saudara yang sama berlangsung.
Selain itu, intrik perdagangan membuat hubungan dagang Salem-Sumatera retak. Menurut catatan sejarah Eropa dan Amerika, jalur laut ke Sumatera sangat berisiko karena bajak laut yang menguasai wilayah itu. Mereka melawan pemerintahan Belanda dan merampok kapal asing yang lewat. Namun, banyaknya kapal Amerika yang tetap berdagang menunjukkan bahwa risiko itu tetap diambil demi keuntungan besar.